Sunday, March 20, 2011

MENYOAL PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

MENYOAL PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI 
Oleh: Sukiman

A. Latar Belakang Masalah
Kesepahaman umum telah menegaskan bahwa anak-anak adalah asset masa depan suatu bangsa. Anak-anak hari ini adalah generasi masa depan. Anak-anak tersebut tidak akan mempunyai pengaruh dan posisi yang besar kecuali jika mereka dididik dengan baik, dan jiwa mereka di asah dengan semua hal-hal yang baik dan bermanfaat. Karenanya yang penting bagi seorang anak adalah pengembangan dan pembentukan kepribadian mereka semenjak masa pertumbuhan pertamanya (Utsman, 2005: 14).
Masa pertumbuhan pertama anak menunjuk pada masa usia dini, yang populer disebut sebagai
masa emas (the golden age), suatu masa krisis yang memiliki nilai tinggi dan penting. Dikatakan sebagai masa emas (ibaratnya logam mulia yang bernilai jual tinggi) karena pada usia tersebut terjadi proses perkembangan organ sentral bagi tingkah laku manusia, yaitu otak. Prof.Dr. Benyamin S. Blomm, guru besar pendidikan dari Universitas Chicago Amerika menyebutkan bahwa perkembangan intelektual otak sebagai berikut:




Kutipan di atas menunjukkan kepada kita bahwa jika anak mendapatkan stimulasi yang tepat dan baik maka sekitar 50% kapasitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi pada anak usia 4 tahun, dan 80%  telah terjadi ketika anak berusia 8 tahun (kelas 2 atau 3 SD), serta 100% ketika anak berusia  18 tahun (usia SMA). Pada usia di atas 18 tahun kemampuan otak manusia tidak lagi mengalami perkembangan/stagnasi. Keadaan ini menyodorkan suatu hal yang teramat penting kepada kita bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama usia anak (usia pra-sekolah: TK/RA, Play Group, TPA, dan SPS lainnya) sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 14 tahun berikutnya (usia sekolah: SD – SMA). Bagaimana realisasi stimulasi perkembangan otak dalam praktek pendidikan kita? Sudahkah usia 4 tahun pertama mendapatkan porsi perhatian secara proporsional? Dan masih banyak lagi pertanyaan dapat kita ajukan terkait dengan pendidikan anak usia dini manakala kita memiliki atensi dan good will bagi terwujudnya generasi penerus bangsa yang berkualitas handal.
Pelayanan tumbuh kembang anak usia dini perlu dilaksanakan secara holistik. Terkait dengan perkembangan otak, ke dua belahannya yakni belahan otak kiri dan belahan otak kanan penting mendapatkan stimulasi. Setiap belahan otak (kiri dan kanan) mempunyai fungsi yang berbeda. Belahan otak kiri berhubungan dengan logika, analisa, bahasa, rangkaian (sequence) dan matematika. Stimulasi yang berhasil mengembangkan kemampuan belahan otak kiri akan menghasilkan kemampuan dalam bentuk kemampuan mengupas/meninjai (critiquing), menyatakan (declaring), menganalisa, menjelaskan, berdiskusi dan memutuskan (judging). Belahan otak kanan berkaitan dengan ritme, kreativitas, warna, imajinasi dan dimensi. Keberhasilan stimulasi terhadap perkembangan belahan otak kanan akan mengaktualisasikan kemampuan manusia dalam menggambar, menunjuk, memperagakan, bermain, berolahraga, bernyanyi, dan aktivitas motorik lainnya.
Selaras dengan pendekatan holistik yang disarankan dalam pendidikan anak usia dini terkait dengan pengembangan kemampuan belahan otak kiri dan kanan, berdasarkan teori kecerdasan dari Gardner bahwasanya setiap individu anak memiliki kecerdasan jamak, tidak tunggal. Paradigma (pandangan/keyakinan yang cukup mendasar) kecerdasan tunggal menyatakan bahwa anak dengan tingkat kecerdasan tertentu tidak akan mencapai keberhasilan melebihi keberhasilan yang dicapai oleh anak dengan tingkat kecerdasan di atasnya. Sedangkan pada paradigma kecerdasan jamak, diyakini bahwa setiap anak memiliki kecerdasan jamak (Kecerdasan: Linguistik, Logika-matematik, Visual-spastial, Musik, Kinestetik, Interpersonal, Intrapersonal, Naturalistik). Pada masing-masing anak dimungkinkan memiliki satu atau lebih kecerdasan yang menonjol yang aktualisasinya terkait dengan diperoleh tidaknya stimulasi yang tepat dari lingkungan. Pada paradigma ini terbuka peluang bahwa suatu kecerdasan yang menonjol, misalnya musik, dapat untuk membantu memudahkan penyelesaian masalah terkait dengan kecerdasan lain yang kurang, misalnya matematik. Dengan kata lain anak berkecerdasan musik akan lebih mudah memahami  matematik bila dalam belajar memberdayakan/menyertakan musik. Demikian kira-kira dasar pikiran orang yang mengatakan bahwa setiap anak adalah cerdas.
Pendekatan holistik juga menyiratkan bahwa keseluruhan aspek pribadi perlu disentuh dalam pengembangannya, tak hanya aspek kognisi dan psikomotor yang diutamakan mendapat porsi perhatian lebih, tetapi juga afeksinya. Hal ini penting karena secara empirik membuktikan hasil pendidikan yang ditampilkan banyak orang hanya mengedepankan salah satu aspek kepribadian saja, yaitu kognisi. Akibatnya banyak orang pintar membaca tetapi sebatas kognisi saja, sehingga produsen asap tidak pernah takut mencantumkan tulisan ”menghisap asap dapat menimbulkan penyakit kanker, impotensi dan gangguan janin” dalam kemasan produknya.
Usia emas memiliki arti penting bagi perkembangan anak karena akan menjadi tonggak penyangga bagi kokohnya perkembangan selanjutnya. Usia emas disebut sebagai masa krisis, satu masa yang terjadi hanya sekali selama hidup, dan tak akan terulang lagi.  Suatu masa yang bernilai penting, karena bila masa itu tidak dikelola dengan betul dan baik, perkembangan maksimal yang seharus dapat diraih tidak dapat diaktualisasikan. Karena itu penanganan yang tepat, terencana yang terprogram adalah penting untuk dilakukan. Salah satu bentuk penanganan di maskud adalah pemberian bimbingan perkembangan anak usia dini.
Tindakan ini perlu sebab secara empirik kualitas SDM bangsa Indonesia kini mengkhawatirkan, yang kondisinya dinyatakan oleh Idrus (1999) dalam keadaan: “Tingkat kreativitasnya rendah (low creativity); Tingkat kepercayaan dirinya rendah (low self-confident); Tidak bisa bertindak atas inisiataif sendiri (not self-starter); Berdaya saing rendah (low competitive); Bermental birokrasi (bureaucracy mentality); Produktivitasnya rendah (low productivity),   suatu kualitas SDM yang menyimpang dari visi pendidikan nasional, yaitu memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah (Dikdasmen, 2001), dan merupakan suatu keadaan yang memusingkan.
Aa Gymnastiar (2006) mengatakan, “kalau kita pusing dengan generasi sekarang, maka siapkan generasi yang akan datang”. Oleh karena itu agar anak sebagai asset tersebut dapat bermanfaat secara maksimal, agar anak dapat membekali dirinya sendiri adalah merupakan kewajiban setiap orang dewasa untuk mengantarkan mereka ketangga tapal kedewasaan, yang dalam makalah ini adalah orang tua kedua dari anak, yaitu guru.
Sampai dengan tahun 2005 jumlah anak usia 0 – 6 tahun di Kabupaten Kudus sebanyak 90.936 anak. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kabupaten Kudus (Anshori: 2006) jumlah anak usia dini terlayani oleh PAUD non formal sebesar 1.154 anak (22,7%), dan selebihnya 89.782 anak (87.3%) belum terlayani oleh PAUD. Anak sebagai asset bangsa di masa depan jumlah anak yang banyak merupakan potensi SDM yang berharga, namun jika tidak digarap dengan benar, jumlah anak yang banyak merupakan potensi yang membahayakan.
Pertelaan tentang pentingnya masing-masing fungsi belahan otak serta teori kecerdasan jamak dan keseluruhan kepribadian terkait dengan aktivitas kehidupan memberikan pencerahan secara mendasar kepada kita tentang berbagai persoalan hidup yang kita hadapi, seperti mengapa kreativitas kita rendah, mengapa banyak orang pintar terlibat dalam tindak pidana? mengapa sepak bola di negara kita tidak maju, dan mengapa-mengapa yang lain. Pencerahan ini sekaligus mengisyaratkan tentang pentingnya pendidikan anak usia dini serta bagaimana cara bermain yang seharusnya dilakukan agar stimulasi perkembangan anak usia dini  dapat  dijalankan dengan benar.
Upaya guru dalam menstimulasi anak agar bernilai sebagai asset melalui berbagai kegiatan bermain sebagaimana di maksud uraian di atas perlu mengenal muara akhir yang hendak dituju dari kegiatan prasekolah, yaitu diperolehnya pengetahuan dan keterampilan dasar sehingga anak dinyatakan siap untuk mengikuti pendidikan di sekolah (Sekolah Dasar).

B. Anak Masak (Siap) Mengikuti Pendidikan di Sekolah Dasar
Kemampuan-kemampuan yang dimiliki anak (nature factor)  meliputi kapasitas otak dan ragam kecerdasan, aktualisasinya memerlukan  stimulasi yang relevan dari lingkungan (nurture factor). Pendidikan prasekolah (sebagai faktor nurture) memiliki peran memberikan stimulasi lewat pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan dunia anak (dunia bermain) terhadap ragam kemampuan bawaan di maksud sehingga diperoleh keterampilan dasar yang dibutuhkan anak sampai dengan mereka dapat dikatakan siap untuk mengikuti sekolah  pada pendidikan dasar (SD).
Mengingat pendidikan prasekolah merupakan jenjang pendidikan sebelum sekolah, atau belum merupakan sekolah, maka pendidikan TK/RA, Play Group, dan Satuan PAUD Sejenis bukanlah kepanjangan tangan dari Sekolah (SD). Pendidikan prasekolah bukan miniatur SD kelas rendah. Dengan demikian konsekuensinya pelatihan yang dilakukan adalah berkenaan dengan keterampilan dasar yang nantinya dibutuhkan untuk dapat melaksanakan kegiatan di SD. Agar anak dapat melakukan aktivitas di SD  seperti kegiatan menulis, maka yang dilatihkan pada pendidikan prasekolah adalah  melatih motorik anak agar dapat memegang alat tulis dengan benar, dapat menggerakkan tangan sesuai dengan ragam bentuk abjad, dapat melakukan perangkaian antar abjad menjadi kata, dapat memfokuskan terjadinya koordinasi antara aktivitas mata, tangan dan pikiran serta berlatih menangkap makna yang tersirat dalam tulisan. Dan yang lebih penting dalam setiap kegiatan pelatihan adalah bangkitnya minat anak untuk menggeluti aktivitas yang dilakukan. Dengan tingginya minat anak dalam beraktivitas yang dijalani diyakini dapat memberikan pengalaman yang menyenangkan dalam aktivitas belajar. Lebih jauh pengalaman belajar yang menyenangkan dapat menjadikan aktivitas belajar bukan merupakan hal yang berat, tetapi menyenangkan dan mengasyikkan. Bila hal yang demikian terjadi lambat laun belajar merupakan kegiatan yang membudaya sehingga akan dilaksanakan kapan saja dan di mana saja. Demikian juga untuk kemampuan membaca, berhitung dan berkomunikasi dengan lingkungan (guru dan teman) yang diperlukan di SD, maka di prasekolah perlu dilatihkan dasar-dasar keterampilan yang relevan dengan kemampuan yang ingin dikembangkan, sampai dengan anak siap mengikuti pendidikan di SD. Secara garis besar kondisi anak yang siap mengikuti pendidikan di SD jika mereka telah memiliki keterampilan sosial, motorik, dan kognitif yang memadai.
Untuk mengetahui kesiapan anak di maksud dapat dilakukan pengamatan terhadap: 1) Kemandirian (Anak relatif dapat mengurus diri sendiri, dan secara emosional mampu berada jauh dari orang tuanya dan berada sendiri tanpa orang tua di antara orang-orang yang baru dikenalnya). 2) Keterampilan sosial (Anak mau berkenalan dan tidak canggung menyesuaikan dengan lingkungan sosial yang baru, mampu berbagi, bersedia mematuhi perintah guru, mampu bertindak mengatasi masalah sehari-hari sesuai norma). 3) Keterampilan berbahasa (Anak mampu memahami perintah atau materi yang disampaikan secara verbal, mampu menyampaikan isi pikiran dan perasaan dengan lancar, kosa kata cukup luas, dan dapat menceriterakan kembali hal-hal yang dialami. (4) Mengenal identitas diri dan keluarga (Anak minimal mengetahui namanya, alamat, nama orang tua, nomor telepon (kalau ada) dan tanggal lahir. 5) Koordinasi motorik kasar (Anak memiliki kesimbangan yang baik, dapat berlari, melompat, dan mengayunkan tangan. 6) Koordinasi motorik halus (Anak dapat menggunakan alat tulis dengan benar, dapat menggambar, mewarnai, dan menulis namanya sendiri. 7) Konsentrasi (Anak harus mampu bertahan menkuni tugas minimal 20 menit). 8) Kendali diri (Anak harus mampu menunda pemenuhan atau pelaksanaan keinginan sampai waktu yang tepat, mengikuti aturan, dan mampu menghadapi frustrasi. 9) Memahami konsep dasar (Anak memahami konsep keruangan seperti atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang; waktu, seperti: sekarang, kemarin, besok, sebelum, sesudah; ukuran, seperti: tinggi-pendek, tebal-tipis, besar-kecil; jumlah, minimal dapat menjumlahkan sampai lima dengan benda konkret; dan warna). 10) Mengenali perasaan sendiri dan mampu berempati (Anak mampu memberitahukan dan mengekspresikan perasaan senang, sedih, sakit, dan lainnya serta mampu mengenali  dan ikut merasakan perasaan anak lain berdasarkan observasi terhadap tingkah laku mereka).
Bertolak dari paparan di atas diperoleh suatu penegasan kepada kita bahwa untuk dapat mengikuti pendidikan di tingkat SD, anak tidak cukup hanya berbekal penguasan keterampilan bisa menulis, membaca dan berhitung, tetapi yang lebih penting dari itu adalah dikuasainya keterampilan dasar untuk bisa dan senang dalam menulis, membaca, berhitung dan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab kepada diri dan orang lain.  Dan bahkan pemerolehan keterampilan menulis, membaca dan berhitung yang dipaksakan dapat menimbulkan pengalaman yang tidak menyenangkan, dan rentan terhadap timbulnya kebosanan terhadap kegiatan di maksud. Untuk itu beragam keterampilan dasar harus dijalankan secara fun dan anak enjoy dalam kegiatan tersebut.

C. Kecenderungan Pendidikan Anak Usia Dini dalam Praktek
Berdasarkan hasil amatan manunggal diketahui kecenderungan-kecenderungan dalam pelaksanaan pendidikan anak usia dini (Play Group) sebagai berikut:
1.      Aktivitas pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: Kegiatan awal – Tengah – Akhir.
2.      Kegiatan awal dimulai dari kehadiran anak di Play Group dengan variasi pelayanan: Ada yang secara formal melakukan penyambutan kedatangan anak di pintu gerbang Play Group, sementara pelayanan yang lain dilakukan dengan cara memberi ucapan selamat datang sambil berjabat tangan kepada setiap anak yang datang.
3.      Pada kegiatan awal anak dibebaskan untuk memilih alat permainan yang mereka sukai. Alat permainan dapat diambil sendiri oleh anak pada tempat sumber belajar yang telah disediakan penyelenggara.
4.      Perbedaan dalam pelayanan tahap awal nampak pada pengemasan alat permainan dan pendampingan. Ada penyelenggara yang secara rinci menata alat bermain secara urut dari kiri ke kanan sesuai dengan tingkat kesulitan dan dalam kelompok keterampilan tertentu (sudut-sudut tertentu). Sementara ada yang tidak membedakan alat bermain namun menekankan pentingnya pendampingan kepada anak saat bermain. Dan ada juga yang belum memperhatikan keduanya.
5.      Alat bermain sebagai sarana belajar di antaranya secara periodik (Cawu) diadakan penambahan sesuai dengan tema dan/atau termin dan/atau mengganti alat permainan sejenis dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Sementara yang lain menyajikan semua alat permainan yang dimiliki secara sama setiap waktu.
6.      Dijumpai adanya perbedaan aktivitas guru dalam kegiatan awal Ada  penyelenggara yang memberikan tanggung jawab kepada masing-masing guru untuk memantau aktivitas dan progresivitas anak dalam jumlah tertentu serta mencatat kejadian-kejadian penting selama anak melakukan kegiatan bermain, dan hasilnya langsung didokumentasikan. Sementara ada yang melakukan pencatatan setelah kegiatan anak selesai hari itu. Rangkuman catatan kegiatan anak dilaporkan kepada orang tua anak.
7.      Pertanyaan guru dalam pendampingan terhadap anak sewaktu bermain ada kecenderungan bersifat spontanitas, belum terencana mengarah keseluruh aspek kepribadian yang memungkinkan dijangkau lewat permainan yang dimainkan anak.
8.      Pelatihan keterampilan dasar untuk menulis di antaranya dilakukan dengan aktivitas tracing huruf sesuai dengan bentuk atau cara suatu huruf dibentuk.
9.      Pelatihan keterampilan dasar untuk membaca dimulai dengan pengenalan huruf vokal ”a, i, o, e, u” yang dirangkai dengan kata-kata yang diawali dengan masing-masing huruf vokal. Sedangkan pengenalan huruf konsonan dilakukan dengan cara menunjukkan cara pelafalan huruf di maksud dengan menggunakan gerakan mulut (bibir dan lidah).
10.  Pelatihan keterampilan dasar berhitung dilakukan secara variatif, di antaranya lewat menghitung uang logam yang ditabung, menunjukkan jari sesuai dengan bilangan yang di maksud, lewat media gambar seperti gambar kaki ayam, kambing dan hewan-hewan lain.
11.  Pelatihan keterampilan dasar sosial dilakukan secara beragam pula, seperti menyediakan makanan untuk teman, bekerjasama yang dikemas dalam bentuk lomba, mengirim kartu pos, dan tukar menukar kado.
12.  Pada tahap kegiatan inti, secara umum diisi kegiatan penyampaian materi kepada anak, dengan diselingi beragam aktivitas yang dikonstruk secara berbeda-beda. Pada kegiatan inti bentuk-bentuk kegiatannya belum mengedepankan bentuk permainan.
13.  Pelatihan keterampilan dasar untuk motorik halus banyak dilakukan dengan cara melipat dan menempel, menghubungkan garis, menggunting dan semisalnya.
14.  Pengembangan kecerdasan jamak belum secara eksplisit direncanakan dan dituangkan dalam SKH, maupun dalam perbincangan antar guru dalam perencanaan kegiatan harian.
15.  Kegiatan bermain disediakan dalam ruangan indoor, outdoor dan kunjungan (field trip).
16.  Lagu ”Tangan ke atas, tangan ke samping, ...” merupakan ”jurus”yang digunakan guru untuk pengubahan off-task behavior ke on-task behavior anak.
17.   Bentuk-bentuk hadiah yang banyak dijumpai adalah kata-kata seperti: ”Hebat, bagus, jempol, good boy”. Di antaranya juga memberikan stempel bergambar bintang, dan/atau twitee.
18.  Bentuk hukuman yang ditempuh adalah menyuruh anak untuk mengulangi suatu aktivitas secara benar, seperti membuang sampah.
19.  Kegiatan yang menjadikan banyak anak nampak bergembira terlihat pada kegiatan yang menyertakan anak terlibat secara total, seperti puisi (rhyme), lagu mars yang disertai gerakan anggota tubuh.
20.  Ceritera sebagai metode mendidik anak yang melibatkan unsur-unsur (tempat berceritera, posisi duduk, bahasa ceritera, intonasi guru, pemunculan tokoh-tokoh, penampakan emosi, peniruan suara, penguasaan siswa yang tidak serius, dan penghindaran ucapan spontan) nampak belum menjadi acuan.
21.  Persoalan yang sering dijumpai oleh guru adalah terkait dengan kiat-kiat menghadapi kasus anak, seperti kelengketan dengan orang tua, temper tantrum, tidak mandiri, agresif. Pada umumnya guru menghadapi persoalan dengan intervensi orang tua terhadap aktivitas anak.
22.  Pada kegiatan akhir belum nampak adanya kecenderungan untuk membangkitkan minat anak agar tumbuh minat mau kembali bermain pada keesokan harinya.

D. Local Genius
Pada masing-masing setting Play Group memiliki cara-cara yang dianggap unggul dalam memberikan pelayanan atau stimulasi bagi perkembangan anak usia dini. Cara-cara pelayanan yang dianggap unggul tersebut perlu dikaji ulang guna mengetahui nilai kontribusinya bagi perkembangan anak usia dini.
Sebagai acuan peninjauan guru dapat menggunakan rambu-rambu atau berorientasi pada hakikat pendidikan anak usia dini yang dikeluarkan Pusat Kurikulum balitbang Diknas  sebagai berikut:
1.      Pendidikan bagi anak usia dini adalah pemberian upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh dan pemberian kegiatan pembelajaran akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan pada anak.
2.      Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitik beratkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan jamak, dan kecerdasan spiritual.
3.      Sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan anak usia dini maka penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia dini disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui anak usia dini (Pusat Kurikulum balitbang Diknas, 2004: 2).

Pendidik dan penyelenggara pendidikan, sering kali tidak dapat berkutik dengan tuntutan orang tua untuk menyelenggarakan berbagai macam aktivitas pembelajaran yang sebenarnya tidak tepat atau belum pada saatnya. Kenyataan yang demikian menunjukkan adanya pemahaman yang belum menganggap penting bahwa dalam jangka panjang, keinginan belajar dan motivasi lebih menentukan keberhasilan ketimbang prestasi tinggi hasil karbitan. Pengetahuan dapat diperoleh dalam waktu relatif singkat, namun hasrat dan motivasi belajar memerlukan waktu banyak agar dapat tumbuh berakar kuat dalam pribadi seseorang. Motivasi tinggi untuk menguasai sesuatu (bukan cuma nilai atau ijazah), ulet, tidak mudah patah semangat, berani berkompetisi, mau cari strategi baru untuk mengatasi kegagalan, terampil bersosialisasi, dan merasa tertantang dalam menghadapi hambatan adalah kualitas yang perlu dikembangkan semasa sekolah, tidak dapat dikarbit melalui nilai mata pelajaran tertentu (http://www.dwp.or.id/article. php?id=96).

Tulisan Terkait

0 komentar

Post a Comment