Saturday, April 2, 2011

POTENSI UNGGULAN

The Golden Age: Predikat, dan Harapan Pengembangannya

Sukiman

Abstract

The golden age is a label given to the children preschool ages. During this period the development of their brain were going progressively, and it is needed a quality and an intensity  stimulation from the environment. Based on the reality in the field of many setting of  preschools education held an education program as a means to stimulate the children’s brain development by treating them with  academic material stressing as soon as in the first class of the elementary school. By academic activity stressing it would took a risk in the future if the children got fail. Doe to the fact that failure would make children do not interested in learning and get bored. That is why “teaching-learning process” in preschool level must be held on the nature of children, that is, play. By playing all of the children’s potential could grow up pleasantly.
Key Words : The Golden Age, Stimulation, development


Anak Usia Dini dan Praktik Pendidikannya

            Eksistensi Bangsa dan Negara Indonesia di masa depan sebagaimana tersurat dan tersirat dalam UU RI No.23 Tahun 2002 ditentukan oleh ana*k-anak Indonesia sekarang ini. Anak adalah investasi bangsa, mereka adalah generasi penerus bangsa, karena itu kualitas bangsa di masa depan ditentukan kualitas anak-anak saat ini (Sujudi, 2003).
            Jika UU RI No. 23 Tahun 2002  serta pernyataan mantan menteri kesehatan RI tersebut diakui keberadaan dan kebenarannya, selayaknya wajib diperhatikan ungkapan imajiner yang ke luar dari anak-anak:”Jika kami adalah masa depan, dan kami sekarat, maka masa depan itu tidak akan ada.” Adalah percuma memecahkan masalah-masalah lain di dunia ini jika generasi penerus yang berkualitas, yang dapat menjamin agar masalah-masalah tersebut tidak terulang di kemudian hari tidak diperhatikan.
Sejalan dengan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi sumber daya manusia (SDM) saat ini, dapat dijadikan cermin dari kualitas anak-anak pada masa lalu, serta dapat dilakukannya refleksi bagi tepat tidaknya ragam upaya dan perlakuan terhadap anak pada saat itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usia kanak-kanak tidak bisa disia-siakan dan dilewatkan begitu saja jika optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan terlewati, maka anak-anak banyak kehilangan potensi. Kemampuan kreatif, ketajaman berpikir, dan kepekaan nurani adalah bekal kehidupan anak untuk masa depan (Moeliono: 2003). Dalam perspektif pendidikan dapat dikatakan bahwa well educated man/people akan terbentuk dari dan diawali oleh well educated child (Kartadinata, 2003). Persoalannya sekarang adalah bagaimana mewujudkan  kondisi well educated child itu?  
Sebagai jawaban terhadap pertanyaan di atas, sementara orang dapat menunjukkan bahwa di masyarakat telah dikenal ada lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini seperti Taman Kanak-Kanak (TK) / Raudlatul Athfal (RA); Kelompok Bermain/Play Group; Tempat Penitipan Anak (TPA); Bina Keluarga Balita (BKB), maupun Posyandu, yang kesemuanya itu diasumsikan dapat mewujudkan kondisi anak yang well educated. Namun, apakah asumsi-asumsi di atas senyatanya didukung oleh fakta bahwa praktek-praktek pendidikan anak usia dini yang kini kian merebak di masyarakat telah secara benar memberikan pendidikan kepada semua anak dan dengan cara yang sesuai dengan hakikat pendidikan anak usia dini?
Rilantono (2003) menilai pencapaian program pendidikan anak usia dini (PAUD) masih sangat rendah. Salah satu indikatornya dinyatakan karena masih rendahnya tingkat partisipasi pendidikan prasekolah di Indonesia. Pendapat tersebut mengacu pada piramida pendidikan yang dikeluarkan Depdiknas tahun 1999/2000, sebagaimana dijelaskan bahwa dari 9,2 juta anak usia 5-6 tahun di Indonesia, baru sekitar 1,5 juta yang mengenyam pendidikan prasekolah taman kanak-kanak (TK) (Kompas, 2003). Sedangkan menurut Sujanto (2004) anak usia dini Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan secara terprogram sebesar 19,1 juta (73%) anak.
Dari sisi proses pendidikan, lembaga pendidikan anak usia dini disinyalir oleh redaktur Buletin PADU (2003:iii) secara sengaja atau tidak cenderung menempatkan anak-anak dalam situasi ‘sekolah’ sedini mungkin. Lembaga-lembaga tersebut dikatakan semestinya tidak lantas beralih fungsi menjadi atau menyerupai sekolah, semata-mata karena terbawa oleh anggapan bahwa sebaiknya anak mulai ‘bersekolah sedini mungkin’. Dan bahkan Isdriani (Kompas, 2001) menyatakan bahwa meskipun namanya Taman Kanak-Kanak, sebuah taman tempat untuk bermain dan bersukaria, dalam praktiknya anak-anak TK diajari menulis dan membaca. Jika liburan catur wulan tiba, anak-anak TK kecil (A) diberi PR (Pekerjaan Rumah) menulis abjad a sampai z, sedangkan TK besar (B) les membaca, menulis dan berhitung.
 Sisi lain dari ragam dan proses yang timpang pada pendidikan anak usia dini yang diselenggarakan masyarakat, beberapa pakar di bawah ini menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena rendahnya latar belakang pendidikan guru yang dikonotasikan dengan minimnya pengalaman dalam mengajar membuka peluang terjadinya teaching disability pada guru yang mengakibatkan learning disability pada murid, yang pada ujungnya  menjadikan kualitas lulusan rendah.
Pendapat tentang kualitas SDM guru di antaranya dinyatakan Kontos dan Herzog (2002) bahwa: “Many early childhood preschool teacher enter the field with little education beyond high school and minimal specialized education in child development or early childhood education.” Sucipto (2002) menyatakan bahwa tingkat pendidikan guru yang mengajar di pendidikan prasekolah atau play group, banyak yang belum memadai. Tingkat pendidikan para guru tersebut hanya sebatas SMA saja. Menurutnya mereka belum bisa memenuhi harapan untuk mampu menguasai dan memahami karakter dan perilaku anak balita.  Santoso dalam Kompas (2003) mengatakan bahwa mengelola pendidikan prasekolah tidak bisa sembarangan, karena pengajarnya juga harus paham kondisi psikologis anak.  Rilantono (2003) menyatakan, permasalahan lain tentang pengembangan anak usia dini ialah kurangnya pemahaman guru tentang konsep PAUD maupun rendahnya mutu guru.
      Berbeda dengan pernyataan pakar di atas, hasil preliminary study  oleh Sukiman (2004) pada beberapa setting lembaga pendidikan prasekolah di kota Kudus diperoleh temuan bahwa ketimpangan dalam proses pendidikan anak usia dini bukan semata-mata karena rendahnya pengetahuan guru tentang bagaimana PAUD diselenggarakan, tetapi lebih menunjuk pada ketakberdayaan guru untuk menolak desakan masyarakat agar anak mereka segera mendapatkan pelajaran calistung (membaca, menulis dan berhitung). Keinginan masyarakat yang demikian dipicu oleh kenyataan bahwa  ”seleksi” di SD favorit mengarah pada performansi anak yang sudah bisa membaca dan menulis. Sementara para guru telah banyak yang menyandang gelar sarjana strata satu sekalipun diakui bahwa mereka tidak berlatar belakang dari pendidikan yang dari awal dipersiapkan untuk memberikan pendidikan kepada anak usia dini.
Kenyataan di atas dikuatkan oleh pengamatan Vilien (konsultan pendidikan anak usia dini dari Denmark) dalam Yufiarti (2003: 61) bahwa TK di Indonesia lebih bersifat akademik. Anak-anak lebih banyak duduk di bangku seperti di sekolah. Jarang  diberikan kesempatan kepada anak untuk bereksplorasi dan melakukan sendiri apa yang mereka minati. Kondisi pembelajaran yang demikian sama dengan yang dilakukan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dikatakan lebih lanjut bahwa banyak guru yang kurang memberikan kesempatan pada anak untuk berfikir (children must learn how to think). Guru kurang memberi kesempatan pada anak untuk mengekspresikan perasaannya dan menemukan pemecahan masalah sendiri. Menurutnya anak-anak sejak kecil harus dilatih untuk mampu bekerjasama dengan anak-anak lain dan saling mendengar perasaan dan harapan teman-temannya.  Perlakuan salah dalam pendidikan usia dini dapat menjadikan anak menangkap makna pendidikan sebagai hal yang tidak menyenangkan, dan bisa menciptakan hambatan bagi anak dalam mengikuti pendidikan di masa-masa selanjutnya (Sundjojo, 2003: 44).
Temuan lainnya adalah bahwa kurikulum pendidikan (dalam arti sempit) yang dijalankan dirumuskan dari pengalaman-pengalaman pribadi pemilik/pengelola lembaga yang diperoleh dengan cara mengadopsi kegiatan-kegiatan yang dirasa baik dari lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini yang telah eksis di kota-kota besar yang mereka kunjungi. Cara-cara pengembangan kurikulum tersebut ditilik dari sisi bagaimana seharusnya kurikulum itu dikembangkan, belum bisa dibenarkan setidaknya kalau mengacu pada pendapat Oliva (1992) bahwa pengembangan kurikulum memiliki makna yang lebih komprehensif, mencakup: perencanaan (planning); pelaksanaan (implementation); dan penilaian (evaluation).
Tahap perencanaan kurikulum merupakan proses awal bagi para pengembang kurikulum untuk mengambil keputusan dan tindakan sehingga malahirkan suatu disain kurikulum yang mengandung empat komponen utama, yaitu (1) Tujuan (aims, goals, and objectives); (2) Isi/Bahan (content); (3) Aktivitas belajar-mengajar (learning activities); dan (4) Penilaian (evaluation).  Dan implementasi kurikulum merupakan tahap penjabaran disain kurikulum ke dalam tindakan nyata. Sedangkan tahap penilaian kurikulum merupakan tahap akhir dari proses pengembangan kurikulum saat hasil-hasil penerapan kurikulum dinilai efektivitas dan efisiensinya,  baik yang berhubungan dengan produk pendidikan (learners) maupun kurikulum itu sendiri.
Proses pengembangan kurikulum tidak lepas dari pembahasan tentang model disain kurikulum yang akan dijadikan acuan dalam menyeleksi dan merumuskan tujuan, isi, proses, dan evaluasi. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa dalam proses pengembangan suatu kurikulum, mengacu kepada model disain kurikulum adalah suatu keharusan sebagaimana ditegaskan oleh Print (1993) bahwa: ”... it is not possible to develop a curriculum without some form of curriculum design.” Dan pada model-model disain kurikulum itu sendiri didapati adanya perbedaan, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dalam bentuk disainnya (tujuan, isi, proses dan evaluasi) serta implementasinya. Beberapa model di maksud empat di antaranya  adalah kurikulum Subjek Akademis; Kurikulum Humanistik; Kurikulum Rekonstruksi Sosial; dan Kurikulum Teknologis. Sebagai gambaran berikut dipertelakan dua karakteristik kurikulum sebagai bahan perbandingan.
Kurikulum Humanistik
Kurikulum humanistik merupakan suatu model kurikulum yang menganut konsep aliran pendidikan pribadi yang berasumsi bahwa anak merupakan inti dari kegiatan pendidikan (learners-centered education). Pendidikan diarahkan untuk mengembangkan individu anak sehingga dalam penyusunan tujuan, isi, proses dan evaluasi selalu memperhatikan kebutuhan (the needs), minat (interest) dan tujuan yang diinginkan para pelajar (Print, 1993: 99). Beberapa karakteristik model Kurikulum Humanistik, antara lain:
a.       Menyediakan pengalaman dan mengembangkan seluruh aspek kepribadian, baik aspek kognitif, estetika, maupun moral.
b.      Menuntut hubungan emosional yang baik antara guru dan murid.
c.       Menekankan kesatuan perilaku, baik yang bersifat intelektual, emosional, maupun tindakan.
d.      Memberikan pengalaman secara menyeluruh.
Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Model kurikulum ini merupakan penganut aliran pendidikan interaksional yang lebih memusatkan perhatian kepada problema-problema sosial yang harus dipecahkan melalui pendidikan. Adapun ciri-ciri yang membedakan dengan model kurikulum lain di antaranya:
a.       Siswa dihadapkan pada masalah-masalah masyarakat yang bersifat universal.
b.      Kegiatan belajar dipusatkan pada masalah-masalah yang mendesak.
c.       Pola organisasi kurikulum disusun seperti roda, dengan menempatkan tema utama masalah yang dibahas secara pleno, kemudian dijabarkan ke dalam sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi kelompok (Sukmadinata, 1997).
Persoalan terkait dengan pedoman pengembangan kurikulum bagi lembaga pendidikan anak usia dini di atas, oleh pemerintah disikapi secara positif melalui Keputusan Menteri Pendidikan nasional Nomor 051/0/2001 dibentuk direktorat baru di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, yang diberi nama Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (Direktorat PAUD). Salah satu bentuk nyata yang diterima oleh lembaga pendidikan anak usia dini di masyarakat adalah diterbitkannya Buku Acuan Menu Pembelajaran Pada Pendidikan Anak Dini Usia atau sering disebut dengan Menu Pembelajaran Generik tahun 2002 , khususnya untuk kelompok bermain diterbitkan Buku Acuan Menu Pembelajaran Pada Kelompok Bermain. Hadirnya buku-buku tersebut memang tidak serta merta menyelesaikan masalah yang dihadapi para praktisi pendidikan usia dini di lapangan, namun setidaknya hal tersebut dapat dijadikan dasar bagi upaya menilai tindakan dan kebijakan yang selama ini diterapkan.

 Anak Usia Dini: Ada Apa dengannya?
Fauzia Aswin Hadis (2003) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelitian membuktikan usia dini adalah masa kritis bagi pengembangan intelektual, kepribadian dan perilaku sosial manusia, dan rangsangan-rangsangan saat itu mempunyai dampak yang lama pada diri seseorang. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penemuan para ahli tentang perkembangan otak anak usia dini  (Anonim, 1996) sebagai berikut ini:


1.       Pertumbuhan Fisik Otak
Pertumbuhan otak dari lahir sampai maksimum:





1.       Perkembangan Intelektual Otak
Hasil Penelitian berikut ini menunjukkan perkembangan intelektual otak.
1.1. Dr.Keith Osborn, guru besar pendidikan anak Universitas      Georgia, Amerika.
1.2. Dr.Burton L.White, mantan pimpinan proyek pra-sekolah Universitas Harvard  Amerika.
1.3. Prof.Dr. Benyamin S. Blomm, guru besar pendidikan dari Universitas Chicago,  Amerika, menyebutkan bahwa perkembangan intelektual otak sebagai berikut:

                  
 2.4. Prof.Dr.Utami Munandar, pakar kreativiitas dari Indonesia menyebutkan bahwa pada usia 6 bulan kapasitas otak sudah mencapai 50% dari potensinya pada masa dewasa, dan pada usia 3 tahun sudah mencapai 80%.
 
2.5. Gordon Drayden dan Jeannette, Ed.D dalam bukunya The Learning Revolution menyebutkan bahwa:
2.5.1.  Otak memiliki satu triliyun sel, termasuk: (a) 100 milyar sel syaraf aktif (b) 900 milyar sel lainnya yang menempel memberi makan dan mengisolasi sel-sel aktif.
2.5.2.Masing-masing sel dapat berhubungan dengan 20.000 cabang dari 100 milyar sel syaraf.
2.5.3.   Ada tiga bagian otak yang berbeda satu sama lainnya  (a) otak insting (b) otak emosional, (c) kulit otak.
2.5.4.  Otak  memiliki dua sisi yang bekerja dengan selaras: (a) Otak “Akademik”, otak bagian kiri. Tata bahasa, Logika,  Daya Ingat, Angka, Analisis, Rasional, Berurutan, obyektif terkait dengan kerja belahan otak kiri. (b) Otak “Kreatif”, otak bagian kanan, atau belahan otak kanan berhubungan dengan irama, musik, intuitif, acak, hollistik, sintesa, subjektif, imajinasi, warna dan dimensi.
2.5.5. Bekerja secepat/seperti “telephone exchange” yang mengumpulkan jutaan pesan dalam sedetik antara sisi kiri dan sisi kanan.
2.5.6. Mengontrol sistem transmisi yang memantulkan pesan-pesan elektrik-kimia dengan segera ke setiap bagian tubuh.
2.5.7.        Memegang kunci untuk personal revolusi belajar.

2.6.   Dr. Fasli jalal, Ph.D (2004) Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda menyatakan bahwa  masa usia dini merupakan periode kritis (critical period) dalam perkembagan anak. Dikatakan bahwa berdasarkan kajian neurologi pada saat anak lahir otak bayi memiliki lebih dari sekitar 100 milyar neuron dan sekitar satu trilyun sel gila yang berfungsi sebagai perekat serta synap (cabang-cabang neuron) yang akan membentuk bertrilyun-trilyun sambungan antar neuron yang jumlahnya melebihi kebutuhan. Ditegaskan bahwa synap akan bekerja sampai anak usia lima-enam tahun. Banyaknya jumlah sambungan tersebut mempengartuhi pembentukan kemampuan otak sepanjang hidupnya. Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awal-awal tahun kehidupannya, terutama pengalaman  yang  menyenangkan. Pada fase perkembangan ini anak memiliki potensi luar biasa dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, matematika, keterampilan berpikir, dan pembentukan stabilitas emosional. Pertumbuhan otak pada usia dini sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, terutama perkembangan psikososialnya. Pasca kelahiran, kegiatan otak dipengaruhi dan tergantung pada kegiatan neuron dan cabang-cabangnya dalam membentuk bertrilyun-trilyun sambungan antar neuron. Malalui persaingan alami akhirnya sambungan-sambungan yang tidak atau jarang digunakan akan mengalami atrofi (penyusutan). Dengan kata lain sambungan ini harus diperkuat melalui berbagai rangsangan psikososial, karena sambungan yang tidak diperkuat akan mengalami atrofi dan akhirnya tidak berfungsi. Inilah yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
Pemantapan sambungan terjadi apabila neuron mendapatkan informasi yang mampu menghasilkan letupan-letupan listrik. Letupan tersebut merangsang bertambahnya produksi ”myelin”  yang dihasilkan oleh zat perekat ”glial”. Semakin banyaknya zat myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan semakin banyak ’synapse” yang berarti lebih banyak neuron-neuron yang membentuk unit-unit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit.
Otak manusia bersifat hologram yang dapat mencatat, menyerap, menyimpan, mmproduksi, dan  merekonstruksi informasi. Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh kegiatan neuron ini tidak bersifat spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang diterima indera. Stimulasi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak sangat mempengaruhi struktur fisik otak anak, dan hal tersebut sulit diperbaiki pada masa-masa selanjutnya.

Paparan di atas memberikan informasi bahwa: (1) usia dini merupakan saat yang paling berharga (emas) bagi perkembangan pada usia selanjutnya, karena itu pada masa ini seharusnya  diberikan stimulasi yang tepat bagi pengembangannya, (2) Anak yang tidak mendapatkan lingkungan yang merangsang pertumbuhan otak atau tidak mendapatkan stimulasi psikososial akan mengalami penyimpangan perilaku, (3) usia dini hanya terjadi sekali dalam hidup seseorang, karena itu predikat usia emas semestinya tidak sekedar dijadikan label, tetapi ada perlakuan nyata setara dengan nilai ke-”emas”-annya.
Bertolak dari informasi di atas pada tataran makro diakui bahwa pada diri anak usia dini diletakkan sebuah harapan yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa. Oleh karena itu perlu dibangun sumber daya anak (SDA) yang berkualitas melalui cara-cara yang sesuai dengan dunianya. Secara konseptual, pembangunan kualitas SDA harus mencakup semua dimensi baik fisik maupun non fisik secara totalitas. Sekalipun disadari bahwa pembentukan SDM berkualitas tidak mudah (Hadis, 2003), segenap potensi jasmani dan rohani anak diupayakan bisa berkembang secara sempurna dan dapat didayagunakan untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka mencapai tujuan hidup, serta menjadi SDM yang memiliki daya lentur (reciliency) tinggi dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Mengingat tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan periode yang sangat kritis, maka kesalahan yang terjadi pada periode kritis akan membawa kerugian nyata pada masa depan bangsa. Produktivitas bangsa di masa depan sangat ditentukan oleh bagaimana upaya pengembangan anak usia dini dilakukan (Syarief, 2003: 20). Dan oleh karena itu menurut Sujanto (2004) deklarasi Dakkar  mengamanatkan bahwa sebenarnya kita memiliki tugas yang amat penting yakni agar bersedia melihat dan berfikir  ulang secara sistematik, tentang penyelenggaraan pendidikan (khususnya pendidikan anak usia dini) sehingga pendidikan di negeri ini mampu dikembangkan menjadi instrumen untuk membekali anak-anak bangsa ini mendapatkan iklim kehidupan yang mampu menjadi spring board bagi masa depannya, yang jauh lebih baik dan menjanjikan.
Keharusan memberikan perhatian terhadap usaha pendidikan sejak usia dini merupakan persoalan mendesak untuk ditangani. Gutama dalam Suara Pembaharuan (2002) menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis Tim Pendidikan untuk semua (Education for All) mengungkapkan bahwa Indonesia pada akhir tahun 2001, lebih dari 80% dari sekitar 26 juta  anak Indonesia usia 0-6 tahun belum tersentuh pendidikan usia dini. Sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun yang berjumlah 12,6 juta, dikatakan baru sekitar 2 juta yang terlayani di Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudlatul Athfal (RA). Suatu jumlah yang signifikan dan merupakan sumber potensi besar jika dapat dikembangkan secara optimal, namun dapat menjadi sumber potensi kerawanan bila tidak diperhatikan (Rilantono, 2003).
            Perkembangan TK dalam 10 tahun terakhir dinilai Supriadi (2002) sangat lambat. Dikatakan bahwa jumlah anak usia TK (yaitu 4-6 tahun) sekitar 13,5 juta anak, yang berarti Angka Partisipasi Kasar (APK) baru 11,9%. Dengan demikian dari setiap 100 anak usia 4-6 tahun hanya ada satu anak yang berada di TK. Pelaksanaan pendidikan anak usia dini di Indonesia baru menjangkau sebagian kecil masyarakat. Terbatasnya layanan pendidikan anak usia dini dalam Naskah Pendidikan Nasional (2001) disebutkan bahwa layanan pemerintah baru menampung 1% anak usia 0-5 tahun melalui Penitipan Anak, dan 12,65% anak usia 5-6 tahun melalui TK, serta  0,24% melalui Kelompok Bermain. Data lain dalam sumber yang sama dinyatakan bahwa masih terdapat 11.298.070 anak usia 4-6 tahun yang perlu diberi layanan pendidikan prasekolah dalam rangka kesinambungan peningkatan kualitas SDM.
Ragam kemunculan PAUD yang ada sekarang ini menunjukkan adanya kepedulian          masyarakat terhadap pendidikan usia dini. Karena itu kepedulian masyarakat tersebut harus difasilitasi sebagaimana diamanatkan oleh butir keenam deklarasi Dakkar, yaitu memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua orang,… (Sujanto, 2004) sehingga perkembangannya dapat memberikan kontribusi positif bagi terwujudnya misi pendidikan, yaitu dijabarkan berikut ini.
1.             Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2.             Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3.             Meningkatkan kesiapan input dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral agama, penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup;
4.             Meningkatkan profesionalitas dan akuntabilitas lembaga pendi-dikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampil-an, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global;
5.             Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (Depdiknas, 2002).

            Selaras dengan paparan urgensi pendidikan anak usia dini di atas, dalam Bab 1 Naskah Akademik Pendidikan Nasional (2001) disebutkan bahwa pendidikan nasional menghadapi tantangan berat yang meliputi persoalan-persoalan yang terkait dengan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi. Tantangan-tantangan tersebut dapat dijadikan trigger bagi upaya-upaya signifikan bagi peningkatan kualitas layanan yang sesuai dengan hakikat pendidikan pada setiap tingkatan dan jenis pendidikan. Salah satu upaya dimaksud tertuju pada terwujudnya mutu, efisiensi dan relevansi proses pendidikan yang sesuai dengan hakikat pendidikan anak usia dini melalui pengkajian terhadap upaya-upaya pengembangan potensi anak melalui berbagai aktivitas yang ditawarkan pada setiap setting pendidikan anak usia dini.

Pengembangan Potensi Anak Usia Dini
            Hakikat pendidikan anak usia dini pada dasarnya merujuk pada sistem pendekatan pembelajaran yang harus dilaksanakan, yang memuat prinsip-prinsip: 1) Pembelajaran berorientasi pada prinsip-prinsip perkembangan anak. 2) Berorientasi pada kebutuhan anak. 3) Bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. 4) Menggunakan pendekatan tematik. 5) Kreatif dan inovatif. 6) Lingkungan kondusif, dan  7) Mengembangkan kecakapan hidup (Depdiknas, 2003).
Upaya mewujudkan pendidikan usia dini secara benar dengan prinsip-prinsip disebut di atas dapat diawali dengan mengambil pelajaran dari permasalahan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, bahwasanya tekanan dalam proses pembelajaran terlalu banyak diberikan pada aspek akademik/intelektual. Banyak di antara informasi hanya bersifat hafalan dan menimbulkan perasaan tidak senang pada diri anak.  Pengalaman yang tidak menyenangkan dalam pendidikan dinyatakan juga oleh Khomsan dalam Kompas (2003) bahwa berangkat ke sekolah bagi anak Indonesia mungkin ibarat bertempur melawan stress, sehingga timbul rasa enggan karena dari hari ke hari terlalu banyak informasi yang dijejalkan di kepalanya. Akibatnya banyak orang tua yang bingung menghadapi perubahan sikap anaknya yang tiba-tiba mogok tidak mau sekolah dengan berbagai alasan, mulai dari sakit perut, sakit kepala, dsb. (www@web2mail.com, 2003).  Program untuk anak usia dini yang terlalu menitik beratkan pada keberhasilan akademik (calistung) dengan metode instruksi dari guru hanya akan berhasil untuk jangka pendek, namun cenderung kurang mendukung keberhasilan anak baik di sekolah maupun kehidupan selanjutnya (Andriana, 2003).
Pelajaran yang bisa diambil dari paparan di atas bagi PAUD adalah bahwa stimulasi yang hanya menekankan aspek akademik saja adalah salah.  “Sekolah dan pelajaran “ pada jenjang PAUD senyatanya perlu dibuat menyenangkan bagi anak, sehingga pada diri anak tumbuh rasa rindu terus menerus untuk datang ke “sekolah” untuk menggeluti kegiatan “belajar”. Hasil “belajar” yang diharapkan dapat dicapai dari proses  pendidikan anak usia dini bukan terletak pada anak yang segera dapat membaca, menulis dan berhitung. Tetapi yang lebih penting dari itu ialah upaya mewujudkan tumbuh kembangnya minat anak untuk belajar serta dimilikinya keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk  kesiapan memenuhi tugas-tugas pada jenjang pendidikan sekolah dasar sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing anak terkait dengan, hal-hal berikut ini.
a.       Kemandirian, dalam hal ini misalnya anak sebenarnya relatif  cukup mampu mengurus diri sendiri, seperti mengenakan pakaian sendiri, membawa perlengkapan sekolah, pergi ke toilet, dan ingat barang miliknya. Secara emosional, ia mampu berada jauh dari orang tuanya dan berada sendiri tanpa orang tua di antara orang-orang yang baru ia kenal.
b.      Keterampilan sosial, adalah bagaimana anak mau berkenalan dengan orang baru, tidak canggung menyesuaikan diri dalam lingkungan social yang baru, mampu berbagi, bersedia mematuhi perintah dan melakukan suruhan guru, dan mampu bertindak mengatasi masalah sehari-hari sesuai norma.
c.       Keterampilan berbahasa, ialah bagaimana anak mampu memahami perintah atau materi yang disampaikan secara verbal, mampu menyampaikan isi  pikiran dan perasaan secara lancer, kosa kata cukup luas, dan dapat menceriterakan kembali hal-hal yang dialami.
d.      Mengenal identitas diri dan keluarga. Minimal anak mengetahui nama, tanggal lahir, alamat, orang tua, nomor telepon.
e.       Koordinasi motorik kasar, yaitu tentang keseimbangan yang baik, dapat berlari, melompat, dan mengayunkan tangan.
f.        Koordinasi motorik haus, yaitu dapat menggunakan alat tulis dengan benar, dapat menggambar, mewarnai, dan menulis namanya sendiri.
g.      Konsentrasi. Anak harus mampu bertahan menekuni tugasnya minimal 20 menit.
h.       Kendali diri. Anak harus mampu menunda pemenuhan atau pelaksanaan keinginan sampai waktu yang tepat, mengikuti aturan, dan mampu menghadapiu frustasi.
i.         Memahami konsep dasar, seperi keruangan (misalnya atas-bawah; kiri-kanan; depan-belakang); waktu (sekarang, kemarin, besok, sebelum, sesudah); ukuran (tinggi-pendek, tebal-tipis, besar-kecil), jumlah (minimal dapat menjumlhkan sampai lima denganbenda kongkrit), dan warna.
j.         Mengenali perasaan sendiri dan mampu berempati. Anak mampu memberitahukan dan mengekspresikan perasaan senang, sedih, sakit, dan lainnya serta mampu mengenali dan ikut merasakan perasaan anak lain berdasarkan observasi terhadap tingkah laku mereka.
Proses pendidikan pada jenjang prasekolah terarah pada pengembangan potensi anak yang merupakan suatu kepemilikan yang sifatnya inhern/dibawa sejak lahir (nature). Oleh karena keadaannya  masih bersifat potensi, maka aktualisasi dari potensi di maksud dalam prosesnya masih membutuhkan sentuhan empirik (nurture). Oleh karena itu adalah penting untuk memberikan perhatian terhadap proses belajar dan usaha anak, tidak hanya pada hasil yang dicapai anak. Sesuai dengan  Menu Pembelajaran Generik dari Direktorat PAUD potensi anak yang dikembangkan mengacu pada pendapat Gardner (1993), bahwasanya pada setiap individu memiliki kecerdasan jamak (multiple intelligence), yaitu: kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematik, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan naturalis, kecerdasan  interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan spiritual.
Pendapat Gardner tersebut memiliki implikasi logis, bahwasannya berdasarkan prinsip individual differences, pada setiap individu dimungkinkan memiliki salah satu keunggulan dan bahkan lebih atas potensinya yang dibawa sejak lahir. Konsekuensinya dalam praktik adalah menantang guru untuk dapat mengemas bahan dan cara stimulasi secara kreatif dan inovatif sesuai dengan ragam potensi yang dimiliki oleh masing-masing anak. Pendapat ini sekaligus menggeser paradigma lama yakni tentang konsep kualitas kecerdasan atau inteligensi (IQ), bahwasanya kesuksesan yang dapat diraih seseorang dengan tingkat inteligensi rata-rata normal secara konseptual diyakini tidak akan mampu melampaui kesuksesan orang lain yang memiliki tingkat inteligensi lebih tinggi darinya. Tetapi secara empirik didapati kenyataan yang berbeda seperti dinyatakan oleh Tim Dokter Mediros (2003) tentang keluhan Ny.Wijaya, Bekasi, dan Ny.Tresno, Yogyakarta yang merasa heran tentang nilai-nilai sekolah anak mereka yang tidak sesuai dengan taraf kecerdasannya, yaitu 129 (superior). Menurut Pertiwi, dkk. (1997) faktor IQ dianggap hanya menyumbang 20% pada kondisi masa depan Dengan demikian IQ bukan segala-galanya, kenyataan hidup beserta tantangan dan persoalan hidup sehari-hari tidak cukup diatasi dengan kemampuan berbahasa atau kemampuan mengolah angka sebagaimana tercermin dalam tes inteligensi.
Ragam kecerdasan yang dimiliki anak pengembangannya memerlukan cara-cara yang dilaksanakan sesuai dengan kepentingan/dunia anak, yaitu dunia bermain, dengan dasar berulang, bertahap dan terpadu berdasarkan prinsip the best interest of the child.  Bermain adalah pekerjaan anak (play is a child’s work).  Ada kesepakatan para ahli perkembangan anak sebagaimana dikutip Kartini-preschool (2003) yang mengatakan:”that play is crucial not only to  physical growth but to the child’s intellectual, social, and emotional growth”. Sebuah kutipan dari buku “A Perfect Education” oleh Kenneth Eble’s (Kartini Preschool, 2003) menandaskan bahwa: ”Play is the way all children learn the majority of their preschool lessons. It trains the muscles and senses. It refines judgements. It involves the individual in society. It shapes dreams and presents realities. It is unencumbered by formal structures. Yet it has its orderings and its disciplines. Dengan bermain learning happens naturally. Bermain membawa kesenangan dan kesenangan menimbulkan kegairahan. Saat anak dalam kondisi senang, apapun akan efektif diberikan kepadanya. Frobel dalam Wiryasumarta (2003) mengatakan, pelajaran yang diberikan lewat permainan akan lebih menarik dan menyenangkan hati anak sehingga hasilnya akan lebih baik. Dengan bermain mereka belajar banyak hal sebagai persiapan untuk bergaul dalam lingkungannya dan untukn memasuki pendidikan sekolah dasar. Piaget dalam  Wiryasumarta (2003) mengartikan bermain sebagai kegiatan yang dilakukan berulang-ulang demi kesenangan. Bila kegiatan belajar dilakukan dalam suasana bermain, anak akan lebih menikmati dan senang hatinya, tidak merasa terpaksa. Dengan demikian anak terdorong dan bersemangat untuk belajar. Sekaitan dengan itu Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Indra Jati Sidi (1999) mengeluarkan aturan yang menegaskan bahwa cara terbaik untuk membentuk dan mengembangkan kemampuan anak adalah melalui permainan. Bermain mengandung rasa senang dan tanpa paksaan, serta lebih mementingkan proses daripada hasil akhir. Oleh karena itu tindak stimulasi kreatif dan inovatif guru sangat dibutuhkan untuk dapat mengemas “bahan ajar” dan faktor-faktor pendukung kegiatan “belajar” bagi pengembangan kecerdasan jamak dalam bentuk aktivitas bermain. Aktivitas bermain sebagai bentuk “pembelajaran” idealnya dapat memenuhi karakteristik permainan sebagaimana pendapat Hughes (1999), yaitu: (1) meningkatkan motivasi, (2) merupakan pilihan bebas (dipilih sendiri oleh anak tanpa paksaan), (3) bersifat non-linier, (4) menyenangkan, dan (5) pelaku (anak) terlibat secara aktif. Dengan kata lain bila salah satu dari kriteria bermain tidak terpenuhi, misalnya guru mendominasi kelas, maka “pembelajaran” itu bukan lagi melalui bermain.
Ragam permainan yang bisa dipergunakan untuk mengemas bahan ajar pada pendidikan anak usia dini di antaranya dikemukakan oleh Wiryasumarta (2003), berikut ini:
1.       Permainan aktif.
Permainan ini berupa kegiatan seperti berlari, melompat-lompat, meluncur, naik dan turun tangga, meniti balok, bermain ayunan, bermain bola dan semisalnya.
2.       Permainan konstruktif.
Permainan ini dilakukan dengan teknik membangun seperti menyusun balok-balok kayu, membuat rumah-rumahan, bermain puzzle dsb.
3.       Permainan kreatif.
Permainan ini dilakukan untuk mengebangkan daya cipta anak anatara lain menggambar dengan tinta warna/cat air/crayon, menggunting, menempel, mencocok, membentuk sesuatu dari lempung/playdough, melipat kertas dsb.
4.       Permainan imajinatif.
Permainan ini melatih anak-anak untuk memainkan peran tertentu yang dikagumi, seperti ayah, ibu, dokter, tentara, polisi dll.

Penerapan ragam bentuk-bentuk permainan tersebut di atas perlu diperkaya, dikembangkan oleh guru sesuai dengan karakteristik permainan yang oleh Fromberg dalam Dockett dan Fleer (1999) dikatakan bahwa permainan itu: symbolic, meaningful, active, pleasurable, voluntary, rule-governed, dan episodic, sehingga dapat mencegah kebosanan anak. Permainan dapat bermacam-macam bentuknya, akan tetapi inti dari semua permainan adalah kesenangan (pleasure).  Perry, Hogan dan Marlin (2000) secara tegas mengatakan:”If it isn’t fun, it isn’t play”.  Mereka mencontohkan bentuk-bentuk permainan seperti permainan dengan menggunakan tubuh (misalnya membentuk bangunan dengan balok-balok), dengan pikiran (misalnya permainan fantasi), dengan menggunakan kata-kata (misalnya humor, wit, jokes), dengan menggunakan alat-alat penyangga (misalnya, balok, boneka), yang semuanya akan berkembang secara alamiah. Dalam permainan-permainan itu guru dapat mengajukan pertanyaan tebuka-tertutup kepada anak yang dapat menstimulasi pikiran anak-anak, seperti:”What do you think would happen if you tried ...?” Dapat juga guru mengembangkan kosa kata dengan mendeskripsikan apa yang dilakukan anak, seperti:”I see you used lots of colors – red, green, blue and brown (NAEYC: 2003).
Perlakuan pendidikan terhadap anak usia dini yang benar di berbagai setting diyakini akan mampu meningkatkan kontribusi positif bagi terwujudnya fondasi kokoh dalam mewujudkan SDM Indonesia yang berkualitas di masa depan.


Daftar Pustaka


Andriana, E. dkk.(2003). Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Aktivitas. Dalam Buku Perilaku Anak Usia Dini. Yogyakarta: Kanisius.
Anonim (1996). Bagaimana Peran Orang Tua dalam Mempersiapkan dan Membantu Meningkatkan Intelektualitas Anak Melalui Cinta Baca Sejak Dini. PT Tiga Raksa Optima.
Bab 1 Naskah Pendidikan Nasional. (2001). [On line]. Tersedia dalam http:www.edform.net/Indonesian/bab1.shtml. (19-06-03).
Balitbang  Dikbud. (2001). Kurikulum Tman Kanak-Kanak. Jakarta: Depdikbud.Dockett, S. dan Fleer, M. (1999. Play and Pedagogy in Early Childhood. Bending the Rules. London: Harcourt.Gardner, H. (1993). Multiple Intelligence – The Theory in Practice. New York:Harper Collins.
General Daily Schedule “Free Play” Period .(2003). [On line]. Tersedia dalam http://www.kartini-preschool.or.id/freeplay.html. (21-06-03).
Hadis, FA. (2003). Perkembangan Anak Dalam Perspektif Pendidikan Anak Dini Usia.  Buletin Padu. Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. Vol.2 No.1 April 2003.
Hughes, FP. (1999). Children, Play, and Development. London: Allyn & Bacon.
Isdriani, P. (2001). Pendidikan dan Bayang-bayang Pedagogi Hitam. [On line]. Tersedia dalam: http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0104/09/dikbud/pend09.htm (21-06-03).
Jalal, F. (2004). Pendidikan, Input Tumbuh Kembang Anak. [On line]. Tersedia dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0902/09/teropong/lain01.htm (01-04-04).
Gutama. (2003). 80 Persen Anak Belum Tersentuh Pendidikan Usia Dini. [On line]. Tersedia dalam: http://www.suarapembaharuan.com/News/2002/10/18/Kesra/kes01.htm. (26-05-03).
Kartadinata, S. (2003). Konseptualisasi Pendidikan Anak Dini Usia Di Indonesia. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Anak Dini Usia. Tanggal 10-12 September 2003 di Universitas Pendidikan Indonesia.
Khomsan, A. (2003). Menuju SDM Berkualitas Perbaikan Mutu Kesehatan dan Pendidikan Anak Sekolah. Kompas 12 April 2003.
Kontos, S. Herzog, AW. (2003).Teacher Preparation and Teacher-Child Intervention in Preschools. [On line]. Tersedia dalam: http://ericeece.org/pubs/digest/2002/k kontos02.html.
Moeliono, A. (2003). Jangan Dewakan IQ Pada Anak Usia Dini. [On line]. Tersedia dalam: http/www.kompas.com/kompas-cetak/0301/27/dikbud/97992.htm (27-05-03).
Mulyadi, S. (2001). Pengantar dalam Buku Smart Start. Panduan Lengkap Pendidikan Pra  Sekolah Balita Anda. Maria Edelman Borden. Penterjemah: Ary Nilandari. Bandung: KAIFA.
NAEYC. (2000). Preschool – Academics or Play? [On line]. Tersedia dalam:http://www.naeyc.org/  (23-02-04).
Oliva, FF. (1992). Developing The Curriculum. New York: Harper Collins Publishers Inc.Perry, BD., Hogan, L., Marlin SJ. (2000). Curiosity, Plleasure, and Play. [On line]. Tersedia dalam: http://www.childtrauma.org/ (23-02-04).
Print, M. (1993). Curriculum Develpment And Design. Australia: Allen & Unwin Pty.Ltd.St.Leonard.
Redaktur PAUD (2003). Dari Redaksi. Buletin.Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. Edisi Perdana. Jakarta: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Diknas.
Rilantono, L. (2003). Pendidikan Anak Usia Dini Perlu Ditangani Secara Menyeluruh. [On line]. Tersedia dalam: http//www.kompas.com/kompas-cetak/ 0301 / 06/ dikbud/71084.htm (16-06-03).
Santoso, S. (2003). Wajib Belajar Mestinya Mulai dari TK. [On line]. Tersedia dalam: http://zkarnain.tripod.com/DIKBUD-02.HTM (19-06-03).
Sidi, I Dj. (1999). Gelisah Dijejali 3M. Pelajaran Membaca. Menulis, dan Menghitung di  taman kanak-kanak perlu dibenahi. Tak boleh membebani anak. [On line]. Tersedia dalam: http/www.gataranews.net/VI/5/PDKI-5.html (21-06-03).
Soendjojo, RP. (2003). Pendidikan Anak Dini Usia Hak Semua Anak. Buletin PAUD Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia Edisi Perdana.
Sujanto. (2004) Wajah Pendidikan Kita masih Kelam. Surat Terbuka buat Capres. (Suara Merdeka, Selasa, 27 Juli 2004.
Sujudi. A. (2003). Mengupayakan  Lingkungan  Sehat Bagi Anak Indonesia. Dalam Kompas 10 April 2003, halaman 9.
Sukiman. (2004). Studi  Pendahuluan  Disertasi  Stimulasi Perkembangan Anak Usia Dini Di Berbagai Setting  Kelompok Bermain dan Kesesuaiannya Dengan Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini. Bandung: UPI (Tidak diterbitkan).
Supriadi, D. (2002). Isu-Isu Tentang Pendidikan Anak Usia Dini (Di Indonesia). Makalah Dies Natalis ke-48 Universitas Pendidikan Indonesia.
Syarief,H. (2003). Pengembangan Anak Dini Usia: Memerlukan Keutuhan. Buletin PAUD Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia Edisi Perdana.
Tim Dokter Mediros. (2002). IQ Tinggi Bukan Jaminan. [On line]. Tersediadalamhttp://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2002/01/4/kes02.html (13-7-03).
Wiryasumarta, Y. dkk. (2003). Pentingnya  Pendidikan di TK.  Dalam Buku  Perilaku  Anak Usia Dini. Yogyakarta: Kanisius.
www@web2mail.com, (2003, 28 Mei). Belajar Lebih Penting daripada Bermain? E-mail kepada Sukiman (mas_uki@telkom.net).
Yufiarti. (2003). Karin Vilien tentang: Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak Indonesia. Buletin PADU  Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia Edisi Perdana.

0 komentar

Post a Comment